PORTAL BONTANG – Dekat dengan Pemilu 2024, Nasyiatul Aisyiyah telah menggandeng Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI untuk menyelenggarakan Forum Warga Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Demi Keberhasilan Pemilihan Umum Tahun 2024.
Acara tersebut diadakan dalam rangka Konsolidasi Nasional yang berlangsung di Balai Besar Pengembangan Penjaminan Mutu Pendidikan Vokasi Seni dan Budaya (BBPPMPVSB) di Sleman, Yogyakarta. Sebanyak 150 peserta mengikuti agenda ini, mewakili 34 pemimpin wilayah Nasyiatul Aisyiyah di seluruh Indonesia.
Titi Anggraini, Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut. Ia menyoroti peningkatan keterwakilan perempuan dalam daftar calon legislatif (bacaleg) setiap daerah pemilihan (dapil) sejak tahun 2014.
Meskipun telah diwajibkan setidaknya 30% keterwakilan perempuan, Titi menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mengawasi dan berperan aktif dalam pemilihan.
“Pengawasan yang jujur dan asli berasal dari masyarakat, dan pemilu yang demokratis tidak dapat tercapai tanpa pengawasan yang substansial dan kuat dari masyarakat. Pengawasan dari pihak berwenang tidak dapat menggantikan pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat. Karena pihak berwenang juga berisiko terlibat dalam praktik-praktik yang tidak jujur,” ungkap Titi, dikutip PortalBontang.com dalam rilis resminya.
Selain itu, Titi juga mengingatkan bahwa pemilu bukan hanya tentang proses pemungutan suara, tetapi juga tentang memastikan kerangka hukumnya berfungsi dengan baik.
“Pemilu tidak hanya berkaitan dengan menentukan pemenang, tetapi juga mengawasi proses pelaksanaannya, manajemennya, dan integritas penyelenggara pemilu,” ucapnya.
Meskipun ada banyak undang-undang yang mengatur pemilu di Indonesia, masih terdapat ketidaksesuaian. Titi memberikan contoh peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Pasal 8 ayat 2 yang menggunakan pembulatan ke bawah jika hasil perkalian 30% dengan jumlah calon legislatif menghasilkan angka desimal kurang dari 0,50.
“Sebagai ilustrasi, jika dapil memiliki empat kursi dan keterwakilan perempuan 30%, hasilnya adalah 1,2. Namun, KPU membulatkannya ke bawah menjadi 1, karena desimalnya, yaitu 0,2, kurang dari 0,5. Akibatnya, dalam dapil tersebut hanya satu calon perempuan yang diusulkan,” jelasnya.
Titi berharap bahwa hal ini akan terus diawasi untuk memastikan implementasi putusan Mahkamah Agung dilaksanakan secara konsisten oleh KPU, sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan yang lebih baik. ***