PORTAL BONTANG – Kasus rudapaksa yang menimpa gadis berusia 13 tahun asal Kutai Timur (Kutim) menarik perhatian Rumah Perempuan Anak (RPA) Provinsi Kaltim.
Sebab, kasus rudapaksa ini dilakukan oleh ayah kandung dan pamannya sendiri. Ketua RPA Provinsi Kaltim, Yeni Cahya Sukamto pun memberikan komentarnya.
Ia menyebut, kasus rudapaksa tersebut merupakan tindakan yang sangat fatal dan dapat merenggut masa depan generasi bangsa ke depannya.
Ia menambahkan, tindakan tersebut dapat membuat masa depan anak terenggut paksa oleh tindakan dari keganasan nafsu birahi, oleh sosok yang dianggap sebagai wadah aman bagi seorang anak.
“Korban sangat sedih tentunya, karena anak usia 13 tahun sudah mengalami hal seperti itu, kita juga harus memikirkan bagaimana kondisi psikologis nya juga, karena itu bakal terjadi trauma yg amat mendalam bagi anak,” ucapnya, Jumat 19 Agustus 2022 lalu.
Wanita yang juga merupakan Anggota Perempuan Indonesia Maju (PIM) Kaltim itu mengungkapkan, sosok darah kandung yang mengalir, merupakan anugerah tuhan yang dititipkan dan harus dijaga serta dilindungi. Sehingga, si buah kecil ini, dapat merasa aman ketika berada di lingkungan tempat tinggalnya.
“Ayah kandung dan pamannya ini, sangat tidak manusiawi, harusnya rumah itu adalah tempat ternyaman bagi seorang anak, bukan malah menjadi tempat yang paling mengancam kehidupannya,” jelasnya.
Ia mendesak, agar kasus tersebut dapat ditangani langsung oleh pihak berwajib dan menjadi perhatian utama bagi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim. Terutama, terhadap penanganan psikologis korban.
“Kita butuh perhatian kepada stakeholder terkait yang dalam hal ini pemerintah provinsi untuk menyikapi kasus tersebut. Seperti DKP3A (Dinas Kependudukan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) Kaltim ataupun lembaga hukum untuk penanganan kasus ini. Kemudian, kami meminta agar psikologis anak menjadi perhatian utama kepada seluruh jajaran pemerintah terkait terhadap pemulihan psikologis anak,” tandasnya.
Dalam pemberitaan sebelumnya, perbuatan rudapaksa ini pertama kali dilakukan oleh AK. Ketika Mawar (bukan nama sebenarnya) tinggal bersama pamannya di Kecamatan Sangkulirang. Di sana Mawar berulang kali dirudapaksa oleh AK sejak masih berusia 8 tahun atau kelas 2 sekolah dasar (SD) pada tahun 2017.
“Jadi orang tua korban ini pisah (cerai). Ibunya tinggal dengan orang tuanya, dan ayah kandungnya tinggal sendiri. Jadi korban pun dititipkan ditempat pamannya tersebut,” beber Wakapolres Kutim Kompol Damus Asa, beberapa waktu lalu.
Tentu saja saat merudapaksa Mawar, AK melakukan pengancaman. Sehingga Mawar pun tak berani melawan dan pasrah saat dirinya digagahi oleh pamannya. Namun pada tahun 2020, Mawar akhirnya tak tahan dan mencoba mengadukan perbuatan AK kepada EP, ayah kandungnya. Namun tidak dipercaya.
Karena takut kembali ke rumah pamannya. Mawar pun tinggal bersama ayah kandungnya di Sangkulirang juga. Namun bukannya mendapat rasa aman, EP malah ikut-ikutan merudapaksa anak kandungnya tersebut. Kemudian untuk barang bukti, kepolisian telah mengamankan pakaian Mawar.
Dan akibat perbuatan tersebut, AK dan EF dijerat Pasal 81 Ayat (1), (2), (3) UU RI No.17 Tahun 2016 tentang penetapan PP pengganti UU Nomor 01 tahun 2016, tentang perubahan kedua atas UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo Pasal 64 KUHP. Dengan ancaman paling lama 15 tahun. ***