PORTAL BONTANG – Di berbagai daerah masih ditemukan adanya perkawinan anak. Padahal, usia minimal seorang perempuan untuk menikah ialah 19 tahun.
Pernikahan atau perkawinan anak memang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya, paksaan kondisi ekonomi, dijodohkan oleh keluarga, hingga berkaitan erat dengan unsur budaya.
Di Kaltim sendiri, banyak perkawinan anak dilatarbelakangi oleh budaya. Hal ini ternyata diakui oleh Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim, Noryani Sorayalita.
Ia mengakui bahwa, perkawinan anak karena alasan budaya menjadi tantangan tersendiri.
“Jadi kami dari DKP3A Kaltim melakukan sosialisasi tentang penurunan angka perkawinan usia anak. Itu kami ke kabupaten dan kota. Khususnya ke daerah yang memang angka kejadiannya tinggi,” terangnya.
Demi sosialisasi tepat sasaran, DKP3A Kaltim selalu menggandeng tokoh-tokoh agama, adat, masyarakat, forum anak, organisasi perempuan seperti PKK, hingga organisasi masyarakat yang lain.
“Tokoh-tokoh dan organisasi masyarakat itu diundang supaya memberikan edukasi. Agar edukasi itu menjadi informasi yang bisa disebarluaskan pula ke lingkungannya,” lanjut Noryani.
Materi yang terus digalangkan oleh DKP3A Kaltim dalam tiap sesi sosialisasi ialah dampak buruk dari perkawinan anak.
Pihaknya memaparkan dampak apa saja jika terjadi adanya perkawinan usia anak dan cara mencegahnya. Bahkan, telah diperkuat dengan adanya peraturan gubernur (pergub) tentang pencegahan perkawinan anak itu.
“Biasanya kalau suku-suku itu kan ada meminta wejangan ke ketua adat, nah itu yang kami berikan edukasi. Supaya mereka juga tahu dampak dari perkawinan usia anak itu,” pungkasnya. ***